Blind is only a Character
Oleh Aulia Ardiansyah, blogspot.com
Blind is only a character. Sama seperti karakter lain yang ada pada diri kita. Ada orang yang tercipta pendek dan ada juga yang tinggi. Begitulah sepetik
kalimat yang saya dengarkan sembari tetap menjaga waktu di sebuah seminar yang diadakan oleh lab saya. Kalimat yang dilontarkan oleh seorang pemakalah
yang kebetulan seoarang tuna netra. Beliau mengoperasikan sendiri sebuah laptop dibantu dengan sebuah software. Pak Didi Tarsidi namanya, seorang dosen
UPI. Menurut beliau juga dunia IT tidak pernah mendiskriminasi.
Sering kali kita terpaku dalam kekurangan yang kita miliki. Jikalau kekurangan tersebut kita sikapi dengan proses perbaikan diri, rasanya malah lebih baik.
Tetapi jika kita menggunakan kekurangan kita sebagai tameng untuk enggan melakukan sesuatu, itulah yang menjadi masalah. Bisa saja Pak Didi menggunakan
ketunanetraannya sebagai alat untuk mencari belas kasihan orang lain. Tetapi beliau memilih untuk berjuang bahkan pernah keliling keluar negeri. Sungguh
semangat yang luar biasa.
Don't judge a book by its cover. Kita sering memandang dunia dengan mata fisik. Padahal banyak sekali makna yang terkandung di balik apa-apa yang kita
lihat. Sudah banyak saya kira perihal yang menyangkut hal ini. Kembali lagi ke pernyataan Pak Didi bahwa dunia IT tidak pernah mendiskriminasi. Kita tidak
tahu orang seperti apa yang sedang berbalas e-mail dengan kita, kita tidak tahu apakah orang yang sedang di depan komputer seberang mempunyai kepala (ini
juga satu lelucon yang disampaikan Pak Didi). Kita hanya tahu pikiran-pikiran lewat tulisan yang digoreskan oleh lawan bicara kita di dunia seberang.
Rasanya malu, seorang manusia seperti Pak Didi mempunyai semangat yang begitu besar padahal mempunyai kekurangan pada hal fisik. Menjadi renungan saya
juga, seharusnya saya juga bisa bersemangat seperti beliau.
Blind is only a character. Sama seperti karakter lain yang ada pada diri kita. Ada orang yang tercipta pendek dan ada juga yang tinggi. Begitulah sepetik
kalimat yang saya dengarkan sembari tetap menjaga waktu di sebuah seminar yang diadakan oleh lab saya. Kalimat yang dilontarkan oleh seorang pemakalah
yang kebetulan seoarang tuna netra. Beliau mengoperasikan sendiri sebuah laptop dibantu dengan sebuah software. Pak Didi Tarsidi namanya, seorang dosen
UPI. Menurut beliau juga dunia IT tidak pernah mendiskriminasi.
Sering kali kita terpaku dalam kekurangan yang kita miliki. Jikalau kekurangan tersebut kita sikapi dengan proses perbaikan diri, rasanya malah lebih baik.
Tetapi jika kita menggunakan kekurangan kita sebagai tameng untuk enggan melakukan sesuatu, itulah yang menjadi masalah. Bisa saja Pak Didi menggunakan
ketunanetraannya sebagai alat untuk mencari belas kasihan orang lain. Tetapi beliau memilih untuk berjuang bahkan pernah keliling keluar negeri. Sungguh
semangat yang luar biasa.
Don't judge a book by its cover. Kita sering memandang dunia dengan mata fisik. Padahal banyak sekali makna yang terkandung di balik apa-apa yang kita
lihat. Sudah banyak saya kira perihal yang menyangkut hal ini. Kembali lagi ke pernyataan Pak Didi bahwa dunia IT tidak pernah mendiskriminasi. Kita tidak
tahu orang seperti apa yang sedang berbalas e-mail dengan kita, kita tidak tahu apakah orang yang sedang di depan komputer seberang mempunyai kepala (ini
juga satu lelucon yang disampaikan Pak Didi). Kita hanya tahu pikiran-pikiran lewat tulisan yang digoreskan oleh lawan bicara kita di dunia seberang.
Rasanya malu, seorang manusia seperti Pak Didi mempunyai semangat yang begitu besar padahal mempunyai kekurangan pada hal fisik. Menjadi renungan saya
juga, seharusnya saya juga bisa bersemangat seperti beliau.
Label: Didi Tarsidi
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda