• HOME




  • Buku Tamu -- Guestbook

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Daftar Isi

  • Didi Tarsidi, "Sekarang Jauh Lebih Baik"
  • Wacih Kurnaesih Menulis dengan Rasa
  • Pasangan Suami Istri Buta - Jatuh Cinta di Pandangan Pertama
  • Didi Tarsidi: Harus Menunggu ”Orang Normal” Terurus Dulu?
  • Blind is only a Character
  • Didi Tarsidi: Menjadi Tuna Netra Bukan Halangan
  • Wacih, a world-class braille writer
  • Wacih Kurnaesih Tarsidi: Dalam Kegelapan Rasakan Indahnya Hidup
  • DIDI TARSIDI, SEMANGAT JUANG DAN KEARIFAN TUNANETRA
  • Wacih Kurnaesih Tarsidi: Meraih Sukses dengan Braille




  • Jumat, 14 Maret 2008

    DIDI TARSIDI, SEMANGAT JUANG DAN KEARIFAN TUNANETRA

    Oleh Indira Permanasari, Harian KOMPAS, 15-02-2005

    SIANG itu, di tempat tinggalnya di bilangan Muhammad Toha, Bandung Selatan, Didi memperlihatkan berbagai pekerjaan yang dapat dilakukan bersama komputer
    dengan program khusus bagi penyandang tunanetra. Program itu menggunakan suara, bukan tanda visual.

    Didi menggunakan teknologi tersebut untuk menyelesaikan pendidikan masternya. Benda itu menolongnya pula menjalankan tugas sebagai dosen program sarjana
    dan pascasarjana di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Teknologi itu juga membantu dia sebagai Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni),
    atau saat harus menyusun makalah jika diminta menjadi pembicara di berbagai forum internasional.

    Dalam tahun 2004 saja, Didi bisa mengunjungi sekitar enam negara untuk menjadi pembicara. Terlebih lagi sejak Desember tahun lalu dia terpilih sebagai
    Wakil Presiden The World Blind Union untuk Asia Pasifik. Didi membuktikan bahwa "kegelapan" tak menghalangi langkahnya.

    "Manusia lebih banyak persamaan daripada perbedaannya. Perbedaan itu sama saja dengan orang pendek dan tinggi. Mungkin Anda harus menggunakan komputer
    dengan bantuan mata, sementara saya dengan bantuan pendengaran. Tapi hasilnya sama. Tunanetra harus menyikapi kondisi yang disandangnya bukan penghambat
    terbesar," kata Didi di rumahnya yang sederhana tapi bersih.

    Kesadaran itu umumnya timbul setelah banyak berinteraksi. Itu pula yang membuat Didi sebagai pendidik getol menganjurkan pendidikan inklusi, yakni anak
    berkebutuhan khusus bersekolah di sekolah umum dalam berbagai forum.

    Dalam tesisnya untuk meraih master di bidang pendidikan luar biasa, yakni peranan teman sebaya di dalam perkembangan anak tunanetra, dia percaya teori
    bahwa teman sebaya berperanan besar dalam perkembangan anak. Jika sejak awal anak tunanetra bergaul dengan teman sebayanya, maka perkembangannya pada masa
    dewasa lebih baik.

    Sikap orangtua, kata Didi, sangat memengaruhi. Kalau orangtua menerima ketunanetraan anaknya, maka anak diberi kesempatan bergaul dengan sebayanya. Atau
    sebaliknya, kalau mereka memandang anaknya sebagai orang berbeda.

    LAHIR di Sumedang, 1 Juni 1951, Didi mendapatkan pendidikan di Sekolah Luar Biasa (SLB) A Bandung, Jalan Pajajaran, sejak tingkat dasar hingga menengah
    pertama. Penglihatannya hilang sejak usia lima tahun karena suatu infeksi. "Saya berkembang sebagaimana anak umumnya. Saya belajar tulisan braille, seperti
    anak lain belajar tulisan biasa," paparnya.

    Dia melanjutkan ke sekolah pendidikan guru (SPG). Ujarnya, "Saya bergaul dengan orang yang tidak banyak mengenal tunanetra. Itu jembatan bagi saya belajar
    bersama dengan anak yang dapat melihat dan bermasyarakat lebih luas."

    Saat masuk UPI (dulu namanya masih IKIP Bandung) Jurusan Bahasa Inggris, tahun 1973, ia satu-satunya tunanetra di angkatannya. Didi
    berkeyakinan, pada hakikatnya manusia berhati baik. Terbukti, lama kelamaan sikap warga kampus kepadanya bertambah baik, seiring dengan semakin mengenalnya.

    Sebagai orang baru, kesulitan awal ialah berorientasi dengan lingkungan. "Di IKIP saya pernah kecebur selokan karena tidak
    terorientasi dengan baik. Tentu pengalaman yang tidak enak, tetapi saya melihatnya sebagai proses," kenangnya.

    Kesulitan lainnya adalah mengakses papan tulis. Perlahan kendala itu terjembatani. Dosen mulai ikut memperhatikan. Misalnya, waktu menulis di papan sekaligus
    mengucapkan apa yang dituliskan. Perkembangan teknologi juga membantu tunanetra mengatasi kesulitannya. Mulai dari buku braille, perekam suara, video compact
    disc hingga belakangan ada software komputer khusus penyandang tunanetra.

    Saat menempuh gelar master Didi semakin mandiri. Dia menggunakan komputer dan scanner untuk membaca buku teks. Begitu teks masuk bisa diakses dengan komputer
    berprogram khusus.

    Sampai kemudian, dia berhasil menjadi pengajar di UPI Bandung. Untuk program sarjana dia mengajar ortopedagogik (ilmu pendidikan luar biasa), braille,
    orientasi mobilitas serta bahasa Inggris. Di program pascasarjana, Didi mengajar pengantar pendidikan inklusif dan pengembangan kesadaran masyarakat. Sebagian
    besar mahasiswanya dapat melihat dan beberapa di antaranya tunanetra. Dia selalu menyiapkan handsout untuk disajikan dengan overhead atau powerpoint. Handsout
    dalam huruf braille bagi Didi, sedangkan mahasiswa dalam tulisan biasa.

    LEWAT kehidupan keluarganya, Didi juga bersaksi bahwa tunanetra bukan warga kelas dua. Istri Didi juga seorang tunanetra bernama Wacih dan kini menjadi
    guru bahasa Indonesia di sebuah sekolah luar biasa. Wacih mengenyam pendidikan hingga tingkat sarjana.

    Bagi Didi, Wacih sangat istimewa, termasuk masakannya. "Wacih pandai memasak apa saja, menggoreng sampai merebus. Dia tahu persis kapan tahu dan tempe
    sudah harus dibalik dan cara membalikkannya. Itu saya tidak akan bisa," kata Didi sambil tertawa kecil.

    Dari perkawinannya tersebut, lahir dua buah hati dengan penglihatan sempurna, yakni Tommy Rinaldi (23) yang kuliah di Jurusan Biologi Universitas Padjajaran
    (semester akhir), dan Sandy Nugraha (21) yang sedang menempuh pendidikan di Universitas Pasundan.

    Didi dan Wacih banyak menggunakan kontak fisik dan audio dengan anak mereka. Keduanya bergantung pada perabaan dan pendengaran. Satu hal yang sangat dijaga
    ialah kebersihan anak-anak sewaktu kecil. "Kalau anak kami tampak kotor, orang akan mengatakan, anak orang gak liat sih. Padahal, anak pada umumnya bisa
    kotor karena suka bermain," katanya.

    Pria penggemar musik jazz itu lalu bercerita, anak-anaknya ketika kecil berpersepsi seolah Didi dan Wacih melihat dengan tangan. "Saya ingat ketika Tommy
    menggambar saat berumur dua tahun. Dia bilang, "Paà Pa... ini gambar perahu orang mancing." Lalu dia ambil tangan saya dan dia rabakan, "Ini perahunyaà
    ini orangnya." Lalu saya tanyakan, ikannya mana? Ternyata belum ketangkap ha-ha-ha," ungkap Didi geli.

    Ketika dewasa, kedua anak mereka tersebut menjadi sahabat bagi orangtuanya. Mereka tidak memandang ketunanetraan sebagai suatu yang asing. Demikian pula
    seharusnya kita.@

    Oleh Indira Permanasari
    Tulisan Dimuat
    Harian KOMPAS, 15-02-2005

    Label:

    0 Komentar:

    Posting Komentar

    Berlangganan Posting Komentar [Atom]

    << Beranda