• HOME




  • Buku Tamu -- Guestbook

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Daftar Isi

  • Didi Tarsidi, "Sekarang Jauh Lebih Baik"
  • Wacih Kurnaesih Menulis dengan Rasa
  • Pasangan Suami Istri Buta - Jatuh Cinta di Pandangan Pertama
  • Didi Tarsidi: Harus Menunggu ”Orang Normal” Terurus Dulu?
  • Blind is only a Character
  • Didi Tarsidi: Menjadi Tuna Netra Bukan Halangan
  • Wacih, a world-class braille writer
  • Wacih Kurnaesih Tarsidi: Dalam Kegelapan Rasakan Indahnya Hidup
  • DIDI TARSIDI, SEMANGAT JUANG DAN KEARIFAN TUNANETRA
  • Wacih Kurnaesih Tarsidi: Meraih Sukses dengan Braille




  • Jumat, 14 Maret 2008

    Wacih Kurnaesih Tarsidi: Dalam Kegelapan Rasakan Indahnya Hidup

    Oleh Uci Anwar, Pikiran Rakyat, 20 Februari 2005

    Penderitaan bisa membawa orang mengembara ke dunia imajinasi. "Bukankah orang bilang penderitaan dapat membuat orang mengarang? Begitu juga saya," yakin
    Wacih Kurnaesih Tarsidi (51), Sang Juara Lomba Esai antartunanetra se-Asia Pasifik. Penderitaannya bukan karena Wacih tak bisa melihat. Kelas 5 SD, saat-saat
    ia masih membutuhkan dekapan kasih sayang ibunda, wanita yang melahirkannya, Enech Hasanah, meninggal dunia. "Sejak kecil hiburan saya satu-satunya adalah
    mendengarkan dongeng dari ibu. Mungkin karena terbiasa mendengar dongeng, saya jadi bisa mengarang," kata Wacih

    SEMENJAK ditinggal ibu, Wacih rajin curhat pada buku hariannya. Kebiasaan ini membuatnya piawai menyatukan kata menjadi kalimat-kalimat indah dalam tugas-tugasnya
    mengarang di Sekolah Luar Biasa Pajajaran Bandung. Walhasil, sejak sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di SLB serta menempuh pendidikan guru di
    sekolah umum, SPG 2 Citarum , Wacih selalu menjadi siswa kesayangan guru bahasa Indonesia.

    Ketika Desember 2004 lalu, ia mendapat penghargaan utama dari The World Blind Union (WBU) Asia Pasifik atas esainya berjudul "Makna Huruf Braile Bagi Tunanetra",
    Wacih tidak dalam kondisi menderita. Justru ia sedang berada di puncak-puncak bahagia. Memiliki suami dan anak-anak yang baik itulah kebahagiaannya kini.

    "Esai yang panjangnya tujuh halaman itu saya kerjakan hanya dalam waktu 6 jam. Saya memang suka SKS, sistem kebut semalam. Itu saya kirimkan pada hari
    Terakhir batas lomba ha..ha..ha," ujarnya terkekeh. Selain mengaku suka bekerja di bawah tekanan deadline, kesempatan Wacih menyelesaikan esai itu memang mepet.

    "Karena suami saya suka mendahulukan tugas-tugasnya, saya baru diberitahu suami tentang adanya lomba esai menjelang hari terakhir lomba." Ceritanya. "Waktu
    saya sedang mencuci, suami saya bilang ada lomba esai antarorganisasi tunanetra oleh WBU," suaminya, Didi Tarsidi, juga penyandang tunanetra, selain Ketua
    Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), sejak Desember lalu juga terpilih menjadi Wakil Ketua The World Blind Union untuk Asia Pasifik.

    Dari Pertuni bukan ia seorang yang mengirimkan esai. Ada 51 esai lainnya yang disaring menjadi 15 dan akhirnya 5 besar. Kelima esai wakil dari Indonesia
    ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Didi Tarsidi yang Dosen Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

    "Hadiahnya jam tangan ini dan uang," kata Wacih berbinar.

    **

    SAAT ini Wacih mengajar di SLB A Pajajaran Bandung untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Gelar Sarjana Pendidikan diperolehnya dari Universitas Terbuka (UT).
    Sedangkan Sarjana Mudanya dari IKIP (kini UPI) Bandung. Sejak SD hingga memperoleh gelar sarjana muda tahun 1978, ia selalu menjadi yang terbaik, paling
    tidak kedua terbaik. "Tapi waktu kuliah di UT, karena tidak banyak tatap muka, saya sering ketiduran kalau mendengarkan materi pelajaran dari kaset ha..ha..ha,"
    ujar Wacih.

    "Teman-teman saya baik semua. Mereka sering menjadi reader (pembaca) bagi saya. Di kelas di IKIP ada dua siswa yang selalu menjadi perhatian, yaitu seorang
    siswa tugas belajar dari Australia, Helen Bloomfield dan saya, karena saya tunanetra."

    Kepada Helen, Wacih merasa berutang budi tak terhingga. Bule satu ini mengajarkan trik membaca buku pelajaran. "Ia bilang tak perlu baca seluruhnya, inti-intinya
    saja yang pasti keluar kalau ujian. Dan ia benar".

    Namun bukan karena ajaran Helen ia hanya membaca 2 buku dari 12 buku wajib yang dianjurkan harus dibaca oleh dosennya. Karena tak ada bacaan berhuruf braile,
    tentu saja ia mengandalkan bantuan teman-temannya untuk membacakan buku baginya. "Sebuah buku saja berhalaman ratusan. Jadi sudah cukup dibacakan 2 buku
    saja," kata Wacih. Keterbatasannya tak menjadikan halangannya untuk menjadi mahasiswa berprestasi. Tak sia-sia Ketua Jurusan Bahasa Indonesia waktu itu
    terjun langsung mengetes Wacih saat ia akan masuk ke IKIP.

    Dulu, belum memakai sistem penerimaan mahasiswa baru. Cukup di tes saja. Saya dites oleh ketua jurusan lebih dari 100 soal secara lisan. Alhamdulillah
    Saya bisa jawa dengan baik. Cuma yang jadi kendala saat itu bagaimana kelak saya menghadapi pelajaran bahasa Kawi dan Sanskerta. Kalau bahasa Arab ada bacaan
    brailenya, yang dua itu tidak," katanya. Tetapi Wacih pintar. "Saya dengarkan baik-baik kata demi kata, lalu saya tirukan saja sebisa-bisanya. Alhamdullilah
    semua pelajaran tak pernah tidak lulus,"

    Kendati memiliki keterbatasan fungsi indra melihatnya, Wacih tak pernah mengasihani diri sendiri. Berbincang dengan Wacih serasa berbincang dengan teman
    lama. Ia memiliki segudang joke yang menunjukkan sense of humor yang tinggi. "Jika di sekolah saya pendiam dan perasa. Tapi kalau di asrama, aduh saya
    paling heboh menurut teman-teman," katanya.

    Wacih asli Sumedang. Namun sejak kelas 1 SD ibu dan ayahnya, Haris (alm.) mengirimnya ke Asrama Tunanetra Wiyataguna. Sejak kecil ia sudah dikenal supel
    dan kreatif. Wacih dijuluki "Si Raja Duit" karena menciptakan uang-uangan dari kertas dengan tulisan braile sebagai penanda angka nominalnya.

    "Karena saya suka menghitung uang, makanya saya dipilih jadi Bendahara Koperasi Pertuni," katanya sambil tertawa.

    **

    KETUNANETRAAN tak pernah membuatnya minder. Ia bahkan menghargai kehidupan yang penuh warna ini. Namun satu kali ia sempat mengkhawatirkan perasaan anaknya.
    Saat anaknya Tommy Rinaldi kelas 5 SD, guru kelasnya meminta orang tua yang mengambil rapornya. Ketika Wacih mengajukan seorang kakaknya untuk mengambilkan
    rapor, Tommy menolaknya."Kan uwak bukan orang tua Ma, kata Tommy. Oo, ternyata ia tidak malu membawa saya," kenang Wacih terharu. Maka pergilah ia ke SD
    Mohammad Toha Bandung dituntun Tommy. Karena jalannya lambat, banyak orang merasa terhalangi, namun serta-merta memakluminya dengan mengatakan "Oh, paingan
    teu ningal, kata orang. Langsung Tommy menegur..Eh! " ceritanya.

    Saat ini pun kedua anaknya yang lahir dengan karunia indra mata yang sehat, tak segan-segan mengenalkan pacar-pacar mereka pada ibundanya. Tommy Rinaldi
    (23) dan Shandy Nugraha (22), masing-masing mahasiswa Geologi Universitas Padjadjaran dan Universitas Islam Bandung. Walaupun kini Wacih punya sopir pribadi,
    kedua anaknya ini rajin mengantarnya ke mana-mana.

    "Saya pernah sedih sekali waktu baru punya anak satu. Waktu itu Tommy baru 9 bulan. Ketika saya gendong mainannya jatuh. Ya saya lepaskan dia dari gendongan,
    untuk mencari mainannya yang jatuh," kenang Wacih.

    Tetapi bersama suaminya, Wacih tak menyesali nasib. Mereka berperan maksimal sebagai orang tua. Mereka mengajarkan kemandirian bagi putra-putranya. Karena
    keduanya sibuk bekerja mereka terpaksa mempekerjakan pembantu rumah tangga. Namun agar kedua anaknya tidak bergantung pada pembantu, sejak Tommy dan Shandy
    kelas 5 dan 3 SD, pembantu dihentikan. "Mereka sudah bisa naik angkot pulang pergi ke sekolah." Tenaga pembantu rumah tangga dibutuhkan memang hanya untuk
    mengantar mereka sekolah. Semua pekerjaan rumah dilakukan Wacih. Mulai dari mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, hingga memasak.

    "Pembantu sering berganti-ganti. Sayalah yang mengajarkan pembantu memasak," ujarnya.

    Wacih pandai memasak. Untuk merasakan tahu goreng sudah saatnya di balik, ia bisa merasakan kulit tahu yang mengeras di ujung sendok pembalik selain dari
    keharumannya. "Untuk kita yang tunanetra memasak itu gampang, yang penting tidak takut api," jelasnya.

    Rumahnya di Jalan H.Kurdi Baru II No. 17 Bandung, tampak rapi dan bersih. Perempuan penyuka bunga ini memajang beberapa bunga plastik di pojok-pojok rumahnya.
    Sejak menikah, mereka langsung mendiami rumah mungil ini. Didi membeli rumah itu 3 bulan sebelum mereka menikah. Wyataguna adalah tempat kenangan mereka.
    Didi adalah teman main sejak kecil karena sama-sama tinggal di asrama.

    Sebelumnya Wacih juga sering mendapat penghargaan sebagai penulis cerita anak dari Dirjen Pendidikan. Salah satunya cerita tentang "Pahlawan 5 K" yang
    Meraih perhargaan Juara I mengarang guru dan kepala SLB. "Waktu mengambil hadiahnya di Jakarta saya menggendong Tommy yang baru 3 bulan. Untung panitianya baik
    saya boleh bawa anak," katanya. Ia juga merasakan kerepotan laiknya ibu-ibu rumah tangga yang lain. Karena KB gagal, usia kedua anaknya bertaut dekat.
    "Biar ada pembantu, saya utamakan mengurus mereka. Dari bayi saya yang memandikan mereka. Untung saya punya suami yang luar biasa baik. Selalu menolong
    pekerjaan rumah tangga," pujinya.

    Belum cukup dengan kesibukannya sebagai pengajar, Wacih juga masih rajin berjualan baju. "Saya kreditkan baju-baju dagangan ke teman-teman. Tapi saya suka
    pilih-pilih yang sesuai selera saya. Kalau tak laku ya saya pakai ha..ha..ha" katanya tentang trik dagangnya.

    Wacih punya selera yang baik dalam berpakaian. Ia sendiri yang memilih model dan bahan baju yang akan dijahit. Terkadang ia membeli jadi. "Saya baru berkerudung
    selama tiga tahun ini. Banyak teman-teman saya membujuk, katanya saya sudah baik , tinggal pakai kerudungnya saja he..he..."

    Ia memilih baju dengan meraba bahannya. "Jika saya suka, saya tanya pedagangnya punya warna apa. Saya suka warna biru, ungu dan merah," ujar Wacih saat
    diwawancara mengenakan busana muslim serba biru termasuk kerudungnya.

    Karena sejak lahir tak melihat, ia sendiri tak tahu definisi biru itu. Namun ia meyakini ia suka warna tersebut. Dengan penampilan sore itu, ia memang
    Pantas dalam kemasan biru. "Waktu bapak pulang dari Cape Town (Afrika Selatan) untuk mengambil hadiah saya, katanya di sana ada peralatan yang bisa untuk membedakan
    warna. Kalau alat itu disentuhkan pada benda berwarna biru maka alat itu akan bilang blue..blue..blue. Tapi kata bapak mahal," ujar Wacih yang suka jalan-jalan
    ke mal ITC Bandung untuk berbelanja.***

    Label:

    0 Komentar:

    Posting Komentar

    Berlangganan Posting Komentar [Atom]

    << Beranda