Wacih Kurnaesih Tarsidi: Meraih Sukses dengan Braille
Oleh Dwi Wiyana, Koran Tempo, 7 January 2005
Jangan pernah menyerah pada keterbatasan. Ny. Wacih Kurnaesih Tarsidi, 50 tahun, paham betul dengan semangat di balik kata-kata tersebut. Sebab itu, penyandang
tunanetra sejak kecil ini tak pernah patah semangat dalam menjalani hidup. Anak pasangan almarhum Haris dan Ny. Neh Hasanah ini yakin Allah akan memberikan
kemudahan di balik keterbatasan fisik yang dimilikinya.
Di kemudian hari, keyakinan itu memang terbukti. Sejumlah prestasi dapat diraih oleh ibu dua anak ini. Prestasi terbaru, istri Didi Tarsidi, 53 tahun,
ini menyabet Excellent First Prize pada Ongkyo Braille Essay Contest (International Section) se-Asia Pasifik, akhir Oktober lalu.
Ia menyisihkan puluhan peserta dari 12 negara. Penghargaan atas prestasinya itu diterima suaminya, Didi--yang juga Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia--dalam
acara konferensi "World Blind Union Asia Pacific", di Cape Town, Afrika Selatan, pada 5-10 Desember lalu.
"Atas dorongan suami, saya coba-coba ikut lomba itu, dan ternyata menang," kata Wacih, saat ditemui di rumahnya, Rabu (5/1) sore. Dalam lomba itu, tema
yang disodorkan panitia adalah "Makna Braille bagi Tunanetra". Lalu, pengajar tingkat SMP dan SMA di Sekolah Luar Biasa Negeri A (untuk tunanetra) di Jalan
Padjadjaran, Bandung, itu menuangkan tema itu dalam esai bertajuk "Meraih Sukses dengan Braille". Tentu saja, judul itu bukan sembarang judul. Sebab, Wacih
sudah merasakan sendiri manfaat--juga meraih sukses--dari huruf-huruf Braille itu. Ia bisa membaca, menulis, dan mengarang, semuanya dalam huruf Braille.
Selanjutnya, untuk dilombakan di tingkat Asia-Pasifik, esai Wacih dan empat naskah lain dari Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Didi.
Dalam urusan ini, suami Wacih itu sama sekali tidak mengalami kesulitan. Maklum, ia adalah sarjana bahasa Inggris dari IKIP Bandung--sekarang Universitas
Pendidikan Indonesia. Dalam proses ini, keberadaan komputer dengan software Jaws50 di rumah Didi sangat membantu. Sebab, perangkat lunak yang bisa mengeluarkan
suara saat keyboard komputer ditekan--juga bisa membaca tulisan di layar komputer--menjadi pemandu brilian dalam pengetikan huruf demi huruf sehingga terlepas
dari kesalahan.
Sejatinya, selain memenangi Ongkyo Braille Essay Contest, sejumlah kejuaraan lain pernah disabet Wacih. Antara lain, pada 1983, ia meraih juara pertama
sayembara mengarang guru-guru SLB se-Indonesia. Karangannya bertajuk Pahlawan Lima K sudah dibukukan dan diedarkan untuk umum dalam huruf-huruf Latin.
Pada 1986, kemenangan yang sama diraihnya. Kali ini, karangannya--juga dibukukan--berjudul Perjalanan Menuju Kemenangan.
Cuma, gara-gara kemenangan yang berulang itu, panitia sempat melarang Wacih ikut sayembara serupa pada tahun berikutnya. "Mungkin, untuk pemerataan (pemenang),"
kata Wacih sembari tersenyum. Sarjana bahasa Indonesia Universitas Terbuka, yang juga menulis buku bertajuk Matahari Bersinar Lagi (1985) dan Menuju Kemenangan
(1995), ini pun tak keberatan.
Jangan pernah menyerah pada keterbatasan. Ny. Wacih Kurnaesih Tarsidi, 50 tahun, paham betul dengan semangat di balik kata-kata tersebut. Sebab itu, penyandang
tunanetra sejak kecil ini tak pernah patah semangat dalam menjalani hidup. Anak pasangan almarhum Haris dan Ny. Neh Hasanah ini yakin Allah akan memberikan
kemudahan di balik keterbatasan fisik yang dimilikinya.
Di kemudian hari, keyakinan itu memang terbukti. Sejumlah prestasi dapat diraih oleh ibu dua anak ini. Prestasi terbaru, istri Didi Tarsidi, 53 tahun,
ini menyabet Excellent First Prize pada Ongkyo Braille Essay Contest (International Section) se-Asia Pasifik, akhir Oktober lalu.
Ia menyisihkan puluhan peserta dari 12 negara. Penghargaan atas prestasinya itu diterima suaminya, Didi--yang juga Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia--dalam
acara konferensi "World Blind Union Asia Pacific", di Cape Town, Afrika Selatan, pada 5-10 Desember lalu.
"Atas dorongan suami, saya coba-coba ikut lomba itu, dan ternyata menang," kata Wacih, saat ditemui di rumahnya, Rabu (5/1) sore. Dalam lomba itu, tema
yang disodorkan panitia adalah "Makna Braille bagi Tunanetra". Lalu, pengajar tingkat SMP dan SMA di Sekolah Luar Biasa Negeri A (untuk tunanetra) di Jalan
Padjadjaran, Bandung, itu menuangkan tema itu dalam esai bertajuk "Meraih Sukses dengan Braille". Tentu saja, judul itu bukan sembarang judul. Sebab, Wacih
sudah merasakan sendiri manfaat--juga meraih sukses--dari huruf-huruf Braille itu. Ia bisa membaca, menulis, dan mengarang, semuanya dalam huruf Braille.
Selanjutnya, untuk dilombakan di tingkat Asia-Pasifik, esai Wacih dan empat naskah lain dari Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Didi.
Dalam urusan ini, suami Wacih itu sama sekali tidak mengalami kesulitan. Maklum, ia adalah sarjana bahasa Inggris dari IKIP Bandung--sekarang Universitas
Pendidikan Indonesia. Dalam proses ini, keberadaan komputer dengan software Jaws50 di rumah Didi sangat membantu. Sebab, perangkat lunak yang bisa mengeluarkan
suara saat keyboard komputer ditekan--juga bisa membaca tulisan di layar komputer--menjadi pemandu brilian dalam pengetikan huruf demi huruf sehingga terlepas
dari kesalahan.
Sejatinya, selain memenangi Ongkyo Braille Essay Contest, sejumlah kejuaraan lain pernah disabet Wacih. Antara lain, pada 1983, ia meraih juara pertama
sayembara mengarang guru-guru SLB se-Indonesia. Karangannya bertajuk Pahlawan Lima K sudah dibukukan dan diedarkan untuk umum dalam huruf-huruf Latin.
Pada 1986, kemenangan yang sama diraihnya. Kali ini, karangannya--juga dibukukan--berjudul Perjalanan Menuju Kemenangan.
Cuma, gara-gara kemenangan yang berulang itu, panitia sempat melarang Wacih ikut sayembara serupa pada tahun berikutnya. "Mungkin, untuk pemerataan (pemenang),"
kata Wacih sembari tersenyum. Sarjana bahasa Indonesia Universitas Terbuka, yang juga menulis buku bertajuk Matahari Bersinar Lagi (1985) dan Menuju Kemenangan
(1995), ini pun tak keberatan.
Label: Wacih Kurnaesih
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda