• HOME




  • Buku Tamu -- Guestbook

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Daftar Isi

  • Didi Tarsidi, "Sekarang Jauh Lebih Baik"
  • Wacih Kurnaesih Menulis dengan Rasa
  • Pasangan Suami Istri Buta - Jatuh Cinta di Pandangan Pertama
  • Didi Tarsidi: Harus Menunggu ”Orang Normal” Terurus Dulu?
  • Blind is only a Character
  • Didi Tarsidi: Menjadi Tuna Netra Bukan Halangan
  • Wacih, a world-class braille writer
  • Wacih Kurnaesih Tarsidi: Dalam Kegelapan Rasakan Indahnya Hidup
  • DIDI TARSIDI, SEMANGAT JUANG DAN KEARIFAN TUNANETRA
  • Wacih Kurnaesih Tarsidi: Meraih Sukses dengan Braille




  • Senin, 12 Mei 2008

    Didi Tarsidi, "Sekarang Jauh Lebih Baik"

    Oleh Joko Pambudi
    Pikiran Rakyat - Minggu, 11 Mei 2008

    "I view blindness just as another characteristic of one`s personal dimensions. Just like with any other undesirable characteristic (such as being too tall
    or too short), at times one has to do things differently to meet environmental challenges without sight. Many blind individuals (and most other members
    of the society alike) need counseling to be able to understand and embrace this point of view. This blog is dedicated to change what it means to be blind."

    Demikian bunyi kalimat yang tertera di halaman blog, d-tarsidi.blogspot.com. Sejumlah kalimat yang menunjukkan bagaimana sudut pandang ketunanetraan. Lebih
    jauh lagi, kalimat tersebut merupakan refleksi pengalaman hidup seorang tunanetra, sang pembuat blog, Didi Tarsidi.

    Didi, kelahiran Sumedang 1 Juni 1951, merupakan anak ketiga dari lima bersaudara putra pasangan petani. Sejak usia lima tahun, dia mengalami gangguan penglihatan.
    Pada usia 10 tahun, gangguan tersebut berubah menjadi kebutaan total. Kendati demikian, kondisi tersebut tak membuatnya patah semangat untuk menimba ilmu.
    Didi berhasil menyelesaikan pendidikan dasarnya di SLBN-A Bandung. Kemudian dia melanjutkan pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris di Universitas Pendidikan
    Indonesia (UPI).

    Dunia pendidikan memang sangat erat kaitannya dengan kehidupan Didi. Saat ini dia tengah menyelesaikan program doktor bidang Bimbingan dan Konseling Anak
    Berkebutuhan Khusus di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). "Mudah-mudahan disertasinya selesai tahun ini," ujar Didi.

    Selain itu, Didi mengisi aktivitas kesehariannya sebagai dosen tetap di Pendidikan Luar Biasa UPI Bandung. Aktivitas organisasi, sejak 1994, Didi juga dipilih
    menjadi Ketua Umum Perhimpunan Tunanetra Indonesia (Pertuni), sebuah lembaga yang beranggotakan sekitar 12.000 tunanetra. Dengan kemampuan bahasa Inggris
    dan pengalaman organisasi yang dimilikinya, Didi berkesempatan keliling Indonesia. Dalam perannya sebagai penerjemah, dia bahkan telah mengalami sejumlah
    perjalanan ke luar negeri.

    Sebagai seorang tunanetra, Didi mampu membuktikan bahwa ketunanetraan tak harus membuat seseorang menutup diri dari perkembangan informasi dan teknologi.
    Keseharian Didi kini tak lepas dari komputer jinjing (laptop). Sejumlah perangkat lunak (software) pendukung, seperti Jaws, membantu Didi dalam mengoperasikan
    komputer tersebut. Dengan perangkat yang sama, Didi aktif menjelajah dan meramaikan dunia maya. Cara itulah yang dia tempuh untuk membuka mata, melihat,
    dan memaknai perkembangan dunia.

    Didi Tarsidi hidup bersama sang istri, Wacih Kurnaesih (54), beserta kedua anaknya, Tommi Rinaldi (25) dan Sendy Nugraha (23). Dengan keramahan dan kearifan
    yang dimilikinya, Didi berbagi pengalaman untuk orang-orang di sekitarnya. Berikut petikan wawancara "PR" dengan Didi Tarsidi ketika ditemui di sela-sela
    kesibukannya di UPI, Rabu (7/5).

    Melihat riwayat pendidikan Anda yang cukup panjang, kesulitan apa yang dialami selama menjalani pendidikan sebagai seorang tunanetra?

    Sebetulnya tidak ada kesulitan yang tidak bisa diatasi. Tetapi, kesulitan itu faktornya bervariasi dan bisa khas untuk orang-orang tertentu, seperti saya.
    Pendidikan dasar saya kan di SLB, dengan asumsi semua kebutuhan difasilitasi. Pendidikan dasar tidak menemui banyak kesulitan. Tetapi ketika mulai bersekolah
    di sekolah umum, terutama di perguruan tinggi, lingkungan pendidikan saya sangat berbeda dengan pendidikan sebelumnya.

    Saya bersekolah di sekolah umum, inklusif, hanya satu-satunya tunanetra dari 40 orang mahasiswa bahasa Inggris, dan satu dari tiga mahasiswa tunanetra di
    IKIP (sekarang UPI). Kesulitan pertama adalah akses bahan bacaan. Saya hanya bisa membaca braille waktu itu, sedangkan materi semuanya tidak dalam bentuk
    braille. Cara mengatasinya adalah saya bergantung kepada pembaca, biasanya volunteer. Ketika mereka membacakan, saya menulis dalam braille, atau saya rekam.
    Waktu tahun ’75-an, recorder masih barang mewah.

    Apakah kesulitan yang sama dialami ketika S-2?

    Kesulitannya sama, tetapi derajat kesulitannya beda. Ketika saya mulai kuliah S-2, tahun 2000, tidak punya akses ke bahan bacaan. Tetapi, cara mengatasinya
    lebih mudah. Ketika itu saya sudah mengenal teknologi komputer, termasuk scanning. Jadi bahan bacaan saya scan ke dalam komputer, lalu diedit dan disimpan.
    Bentuk akses lainnya internet. Tahun ’75-an teman-teman yang awas pun kesulitan akses internet. Tahun 2000-an, ketika saya tidak punya buku, saya bisa
    cari ke internet. Apalagi keuntungan saya adalah saya menguasai bahasa Inggris, sehingga tidak terbatas oleh bahasa.

    Bagaimana cara Anda beradaptasi dengan lingkungan?

    Ya, kesulitan berikutnya memang soal orientasi dan mobilitas, bagaimana saya bisa mengenal lingkungan, beradaptasi dalam lingkungan baru. Itu permasalahan
    yang dialami setiap tunanetra ketika dihadapkan dengan lingkungan baru. Untuk beradaptasi perlu pengalaman dan latihan. Waktu itu belum ada pelayanan khusus
    untuk orientasi mahasiswa tunanetra. Jadi, sedikit demi sedikit saya beradaptasi dengan bantuan teman-teman. Alhamdulillah saya tidak melihat orang-orang
    yang tidak peduli. Saya memang pernah kejeblos parit, sering juga kejedot truk yang parkir. Tetapi menurut saya itu bukan kendala, hanya ketidaknyamanan.

    Selama menjadi tunanetra, apakah Anda sering mengalami perlakuan yang tidak menyenangkan?

    Perlakuan paling tidak nyaman, sebutlah sakit hati, adalah ketika didiskriminasikan. Ketika orang lain punya kesempatan, sementara saya tidak diberi kesempatan
    itu. Padahal saya tahu saya bisa. Dan banyak tunanetra mengalami pengalaman seperti itu. Contoh saja, kalau mau menggunakan jasa penerbangan, saya harus
    melalui prosedur yang tidak diharuskan kepada penumpang lain, yaitu menandatangani surat pernyataan tidak akan menuntut jika terjadi kecelakaan di pesawat.
    Itu sebenarnya surat yang harus ditandatangani orang sakit. Banyak orang yang tidak bisa membedakan cacat dengan sakit. Dan mendapat perlakuan seperti
    itu sangat tidak menyenangkan.

    Perlakuan seperti itu terjadi di luar atau di dalam negeri?

    Saya kira di seluruh dunia. Tetapi gradasi tingkatannya berbeda-beda. Untuk diskriminasi ini, saya melihat bahwa semakin tinggi peradaban suatu negara,
    semakin rendah tingkat diskriminasinya terhadap penyandang cacat.

    Kalau di Indonesia, bagaimana Anda menilai diskriminasi itu?

    Masih sangat kental. Tetapi saya melihat tingkat diskriminasi tersebut cenderung menurun, sangat berbeda dibandingkan dengan 20 tahun lalu. Sekarang jauh
    lebih baik keadaannya.

    Bagaimana Anda menilai akses pendidikan Indonesia bagi tunanetra saat ini?

    Sekarang lebih mudah. Apalagi sekarang pemerintah menggalakkan pendidikan inklusif. Bahkan banyak peraturan pemerintah yang mewajibkan sekolah umum untuk
    menerima orang cacat. Dulu saya harus bekerja ekstra keras untuk mendapatkan kesempatan yang sama.

    Lalu bagaimana dengan akses pekerjaan bagi tunanetra?

    Mungkin lebih baik dari 20 atau 30 tahun lalu. Tetapi perkembangannya tidak sebaik kesempatan pendidikan. Kesempatan pendidikan berkembang dengan baik,
    sementara kesempatan kerja bergeser sedikit saja. Sekarang orang masih punya persepsi bahwa tunanetra hanya jadi juru pijat. Ketika ada tunanetra yang
    bisa menjadi dosen atau menggunakan komposer, dianggap sebagai kekecualian, sesuatu yang ajaib. Padahal seharusnya dipandang sebagai sesuatu yang normal.
    Kalau diberi kesempatan yang sama, semua orang mungkin bisa mencapai yang sama juga. Namun, kesempatan kerja juga kan dipengaruhi oleh dua belah pihak.
    Tunanetranya harus diberi pendidikan dan keterampilan yang tepat yang bisa menunjang dunia kerja. Di pihak lain, harus ada kesempatan untuk memberi pekerjaan
    kepada tunanetra.

    Apakah sejak kecil Anda memang tertarik menjadi guru?

    Saya dibesarkan di dalam keluarga yang menghormati guru. Jadi, sejak kecil diberi image bahwa guru itu adalah orang yang perlu dihormati, pekerjaan yang
    baik, mulia, jadi sejak kecil saya sudah bercita-cita menjadi guru. Orang tua saya petani, tetapi mereka menghargai guru.

    Apakah hal yang sama Anda lakukan juga dalam mendidik anak?

    Ya, memang saya tidak pernah mengatakan langsung kepada anak saya untuk menghargai guru. Kedua anak saya memang tidak menjadi guru. Meskipun tidak secara
    langsung mengajarkan itu, cara terbaik mendidik anak adalah menjadi contoh. Ketika kita menginginkan anak menghormati kita, maka kita harus berbuat sesuatu
    yang bisa dihormati.

    Bagaimana awal ketertarikan terhadap bahasa Inggris?

    Dulu waktu di asrama Wyata Guna, saya sekamar dengan teman yang dua atau tiga kelas lebih tinggi tingkatannya. Waktu itu saya kelas enam, dia SMP. Dia sudah
    mulai belajar buku bahasa Inggris, jadi di kamar ada buku bahasa Inggris. Saya tertarik untuk membaca. Kalau ada yang saya tidak pahami, saya tanya sama
    dia. Lalu ketertarikan itu berkembang dan menjadikan pembaca buku. Selera musik saya juga sebetulnya musik Barat. Selain senang mendengarkan dan menyanyikannya,
    saya juga ingin memahami apa arti lagu itu.

    Lalu bagaimana dengan bimbingan dan konseling anak?

    Itu dilatarbelakangi oleh pekerjaan saya. Saya mula-mula bekerja di SGPLB (Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa). Lalu pindah ke Pendidikan Luar Biasa (PLB).
    Saya merasa ketika bicara PLB, secara substansi mungkin saya menguasai, tetapi secara disiplin keilmuan, saya berada di luar pagar, dan saya harus masuk.
    Studi PLB kebetulan masuk ke dalam kajian bimbingan dan konseling. Menurut saya, bimbingan konseling ditambah pengetahuan ke-PLB-an, menjadi alat efektif
    untuk mengubah persepsi tentang tunanetra dan penyandang cacat.

    Sebetulnya secara umum Anda menilai citra tunanetra di Indonesia itu seperti apa?

    Citra itu sangat bervariasi. Dari citra sebagaimana yang tergambar di perempatan jalan, sampai yang punya persepsi orang tunanetra itu hebat dan perlu dikagumi.
    Nah, kedua ekstrem itu tidak baik.

    Lalu bagaimana pencitraan tunanetra yang ideal menurut Anda?

    Yang baik adalah yang memandang tunanetra sebagai individu yang punya berbagai macam kemungkinan. Tidak ada individu yang persis sama. Dalam blog saya,
    ada satu statement yang saya pikir harus dibaca dan dipahami semua orang. Saya memandang ketunanetraan saya tidak lebih dari sekadar salah satu karakteristik
    pribadi saya. Sebagaimana karakteristik orang yang tidak ideal, misalnya terlalu gemuk terlalu tinggi, maka dia harus berbuat sesuatu untuk bisa memenuhi
    tuntutan lingkungan.

    Orang yang merasa terlalu tinggi, ketika melewati pintu yang terlalu pendek, dia akan merunduk. Saya juga begitu. Ketika saya tidak melihat, lalu tidak
    bisa mendeteksi lingkungan dengan indra saya, maka saya harus menggunakan tongkat. Jadi tongkat bagi saya sama seperti orang yang merunduk ketika melewati
    tempat yang terlalu tinggi. Atau saya harus menggunakan braille. Bagi saya kadarnya sama seperti orang yang menggunakan kacamata minus untuk membaca. Atau
    seperti orang cantik yang menggunakan kosmetik untuk terlihat lebih cantik. (Joko Pambudi)***

    © 2007 - Pikiran Rakyat Bandung

    Label:

    0 Komentar:

    Posting Komentar

    Berlangganan Posting Komentar [Atom]

    << Beranda