• HOME




  • Buku Tamu -- Guestbook

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Daftar Isi

  • Didi Tarsidi, "Sekarang Jauh Lebih Baik"
  • Wacih Kurnaesih Menulis dengan Rasa
  • Pasangan Suami Istri Buta - Jatuh Cinta di Pandangan Pertama
  • Didi Tarsidi: Harus Menunggu ”Orang Normal” Terurus Dulu?
  • Blind is only a Character
  • Didi Tarsidi: Menjadi Tuna Netra Bukan Halangan
  • Wacih, a world-class braille writer
  • Wacih Kurnaesih Tarsidi: Dalam Kegelapan Rasakan Indahnya Hidup
  • DIDI TARSIDI, SEMANGAT JUANG DAN KEARIFAN TUNANETRA
  • Wacih Kurnaesih Tarsidi: Meraih Sukses dengan Braille




  • Jumat, 14 Maret 2008

    Didi Tarsidi: Menjadi Tuna Netra Bukan Halangan

    Oleh Aan Satriani & Arie Lukihardianti, Republika Online, 24 Juli 2005

    Di banyak negara maju dan beberapa negara ASEAN, para penyandang cacat mendapat tunjangan life allowance untuk membantu mereka mandiri sebagai anggota
    masyarakat, mendapatkan kesempatan kerja yang setara, dan menjalani kehidupan yang lebih tertata.

    Di Indonesia, kondisinya justru terbalik. Kesempatan kerja yang sempit serta persepsi keliru yang berkembang di masyarakat membuat para tuna netra selalu
    menjadi 'warga kelas dua'.

    Selama 30 tahun terakhir, menurut Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Drs Didi Tarsidi, M Pd, pemahaman masyarakat Indonesia pada para tuna netra
    cenderung tak mengalami perubahan berarti. ''Dari sisi jumlah memang meningkat, tapi dari sisi persentase tetap karena jumlah penduduk juga kan meningkat,''
    paparnya. Meski demikian, ia tak lelah untuk mensosialisasikan sekaligus mengampanyekan keberadaan dan kehidupan para tuna netra yang sesungguhnya tak
    jauh berbeda dengan anggota masyarakat lain yang berpenglihatan normal.

    Kepada wartawan Republika, Arba'iyah Satriani, Arie Lukihardianti dan fotografer Yogi Ardhi Cahyadi, Didi menjelaskan mengenai pentingnya perubahan persepsi
    masyarakat Indonesia terhadap para tuna netra, perlunya UU No 4/1997 diamandemen serta keinginannya untuk menulis buku-buku untuk para tuna netra. Berikut
    petikannya.

    Bagaimana pandangan Anda terhadap dunia pertunanetraan sekarang ini?
    Saya ingin membandingkannya dengan 20 atau 30 tahun yang lalu, ketika saya masih mahasiswa. Ada beberapa hal yang sangat berbeda, tapi ada beberapa hal
    yang sama. Kita lihat yang samanya dulu, pemahamannya masyarakat tentang ketunanetraan itu tampaknya masih ... prototipe ya. Saya tidak bicara tentang
    individu yang sudah kenal betul dengan individu tuna netra ya, tapi secara umum. Kebanyakan orang memandang tuna netra sebagai suatu ketidakberdayaan,
    ketidakmampuan, dan seterusnyalah, dan mereka identikkan kehilangan penglihatan itu dengan kehilangan segala-galanya. Memang, di satu sisi orang pernah
    mungkin, membaca atau menyaksikan sendiri, tuna netra yang punya pencapaian biasa-biasa saja tapi mereka menganggap sebagai luar biasa.

    Maksudnya bagaimana?
    Misalnya, menyaksikan orang tuna netra bisa mengupas mangga sendiri, itu dinilai luar biasa. Atau mengetik sendiri tanpa bantuan orang lain, mereka melihat
    itu hal yang aneh. Apalagi melihat orang tuna netra dapat melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan dengan penglihatan. Meski begitu, masyarakat melihat
    hal seperti itu sebagai suatu kekecualian. Jadi, masyarakat tetap mempunyai persepsi bahwa tuna netra pada umumnya tidak begitu. Mereka, misalnya, lebih
    jauh punya informasi bahwa tuna netra bisa mengoperasikan komputer, tapi tetap persepsi mereka tentang tuna netra tidak berdaya, kecuali yang ini.

    Jadi, kebanyakan masyarakat belum memandang orang tuna netra sebagai manusia utuh?
    Betul. Mereka tidak bisa menggeneralisasikan bahwa semua orang tuna netra itu tidak mempunyai potensi yang bisa dikembangkan. Jika ada satu orang tuna
    netra berkemampuan sama seperti orang awas, mereka tetap memandang orang tuna netra yang ini berbeda, tetapi pada umumnya orang tuna netra ya tidak berdaya.

    Jadi, sudut pandangnya terbalik dengan melihat orang-orang yang awas?
    Ya, betul. Kalau mereka melihat sesuatu yang biasa, mereka melihat ini sebagai suatu pengecualian, tapi ketika mereka melihat suatu yang tidak bisa dilakukan
    oleh tuna netra, mereka menggeneralisasinya pada semua orang tuna netra. Padahal, saya selalu mengatakan bahwa tuna netra adalah individu yang punya berbagai
    kemungkinan sebagaimana individu lainnya. Semua tuna netra mempunyai kemungkinan yang sangat besar.

    Kalau begitu, kondisi 20 tahun yang lalu dengan sekarang ini relatif tidak ada perbedaan yang signifikan?
    Ya, mungkin dari jumlah orang yang mempunyai persepsi yang tepat, jumlahnya bertambah. Tapi, persentasenya tidak karena pertambahan jumlah penduduk.

    Sebagai vice president World Blind Asia Pasific, bagaimana Anda membandingkan situasi di Indonesia dengan negara-negara di Asia Pasifik?
    Kalau dibandingkan dengan Malaysia, Thailand, Singapura, kita berada di bawah dalam hal-hal tertentu. Soal kesempatan pendidikan, Malaysia lebih baik.
    Meskipun secara jumlah Indonesia unggul, tapi persentase kecil. Mungkin penduduk Malaysia lebih sedikit. Mengenai kesejahteraan, Malaysia, Thailand, Singapura
    punya undang-undang yang mengatakan semua penyandang cacat termasuk tuna netra berhak memperoleh life allowance (tunjangan kecacatan). Lalu, mungkin orang
    bertanya, kenapa harus ada tunjangan kecacatan padahal ingin disamakan dengan orang normal? Nah, tunjangan kecacatan ini diberikan untuk memungkinkan penyandang
    cacat mencapai kemandirian sehingga mencapai kebersamaan.

    Misalnya seperti apa?
    Contohnya, saat menggunakan komputer, orang awas bisa langsung menggunakannya sementara orang cacat harus menambah software yang mahal harganya. Begitu
    juga, untuk pergi ke daerah yang belum dikenal, penyandang cacat membutuhkan pendamping. Jadi, penyandang cacat itu membutuhkan dana yang banyak untuk
    bisa hidup mandiri demi mencapai tadi. Prinsip ini yang digunakan di banyak negara. Tapi, dibandingkan Myanmar, Kamboja, kita masih di atas. Jadi, ada
    di tengah-tengah.

    Bagaimana dengan undang-undang untuk tuna netra?
    Kita mempunyai undang-undang untuk penyandang cacat, yaitu Undang-Undang No 4/1997. Tapi, banyak hal di dalamnya yang memerlukan revisi amandemen. Misalnya,
    dalam banyak pasal dikatakan penyandang cacat harus mendapatkan kesamaan pekerjaan, sesuai dengan jenis derajat kecacatan dan kemampuannya. Awal kata pasal
    itu bagus, tapi ujungnya jelek, sesuai jenis derajat kecacatan dan kemampuannya. Jeleknya kenapa? Karena pemahaman orang bervariasi dan kurang untuk kemampuan
    penyandang cacat. Ketika kita mengatakan penyandang cacat harus diberi pendidikan yang sama sesuai kemampuannya. Siapa yang akan menilai kemampuan? Jadi,
    saya kira klausul itu tidak perlu.

    Persentase tuna netra yang terdidik dan tidak di Indonesia berapa banyak saat ini?
    Berdasarkan data, kurang dari 10 persen anak penyandang cacat berusia sekolah memiliki pendidikan formal. Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman orang
    tua dan masyarakat sekitarnya bahwa kesempatan itu ada. Orang tua terlalu sayang dan takut kalau anaknya jauh. Ada juga orang tua yang malu dan mengurusnya
    di rumah.

    Bagaimana penerapan sekolah inklusi saat ini?
    Inklusi memberikan kesempatan penyandang cacat pada sekolah umum dan memberikan dukungan. Sekolah dipersiapkan menjadi mudah diakses bagi penyandang cacat.
    Kalau inklusi dilaksanakan jadi sekolah yang ideal.

    Kehilangan penglihatan sejak usia lima tahun, karena sakit infeksi yang dideritanya, tidak membuat pria kelahiran Sumedang pada 1 Juni 1951 ini merasa
    Berbeda dengan orang lain yang punya penglihatan normal. Saat dirinya tak bisa melihat lagi, seluruh anggota keluarga tetap mendukungnya. ''Kakak saya masih tetap
    mengajak saya jalan-jalan atau pergi ke kolam pemancingan ikan. Saya pun tetap bermain dengan teman-teman di kampung,'' kata anak ketiga dari lima bersaudara
    ini mengenang orang tuanya yang bekerja sebagai petani pun tak pernah membeda-bedakan perlakuan.

    Tak heran jika kemudian penggemar musik jazz ini tak pernah berpikir atau berandai-andai untuk bisa melihat. Didi memang tak pernah merasa ketiadaan penglihatannya
    sebagai halangan. Terbukti, dosen Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, UPI ini bisa menyelesaikan pendidikan S1 (Pendidikan Bahasa
    & Sastra Inggris, IKIP Bandung, 1979) dan S2 (Bimbingan dan Penyuluhan Konsentrasi Bimbingan Anak Khusus, UPI, 2002) dengan lancar. Sejak duduk di bangku
    kuliah, Didi yang akan memulai kuliah program doktornya pada Agustus 2005 ini sudah bekerja sebagai penerjemah dengan penghasilan yang lumayan. Murid-muridnya
    adalah para ekspatriat yang ingin belajar bahasa Indonesia secara privat.

    Langkah-langkah apa yang sudah dilakukan Pertuni selama ini?
    Pertuni mempunyai banyak sekali program yang dirumuskan oleh suatu forum besar yang mengakumulasi berbagai macam ide. Tapi, ada satu yang bisa diprioritaskan
    untuk mengakomodasi program-program pada umumnya, yaitu kampanye kesadaran pada masyarakat dengan berbagai cara.

    Seperti apa bentuk kampanye itu?
    Bisa dilakukan dalam bentuk formal atau bentuk tidak formal. Yang formal misalnya mengadakan lokakarya, seminar, dan sebagainya. Yang tidak formal melalui
    individu-individu yang harus menunjukkan kemampuannya di tengah-tengah masyarakat. Saya selalu mengatakan, (kepada orang-orang tuna netra, red) kita harus
    selalu berada di tengah-tengah masyarakat karena masyarakat tidak tahu persis siapa tuna netra. Ini dikarenakan di jalan-jalan, yang mereka lihat adalah
    orang-orang tuna netra yang meminta-minta dan seterusnya. Sementara, orang-orang yang memiliki kemampuan berada di balik tembok. Untuk menyeimbangkan informasi
    di masyarakat, kita harus keluar atau mengajak mereka masuk ke dalam.

    Sebagai kepala rumah tangga, Didi pun akan memperbaiki genteng rumah yang bocor atau langit-langit rumah yang bermasalah, ketika anak-anaknya masih kecil.
    ''Saya mengenal dengan baik setiap sudut rumah saya. Sebelum saya punya banyak kesibukan dan anak-anak masih kecil, saya kerap mengerjakan pekerjaan rumah,''
    katanya. Waktu luang yang dimilikinya digunakan untuk berbagi dengan istrinya. Kadang, Didi mendengarkan cerita yang dibacakan istrinya. Kali lain, pria
    yang sangat gemar mengutak-atik komputer ini yang membacakan kisah yang diperolehnya di internet kepada istrinya. ''Kalau tidak, kami pergi ke luar rumah
    untuk makan atau berkunjung ke rumah teman,'' katanya.

    Anda punya hobi mengutak-atik komputer, bisa diceritakan?
    Hobi saya ini bermula dari membaca informasi dari negara maju. Karena saya bisa lebih mudah mendapatkan publikasi gratis dari majalah luar negeri dibandingkan
    dalam negeri dalam huruf braile. Saya dapat kiriman dari Amerika, Inggris, dan beberapa negara lain. Saya baca banyak hal tentang teknologi itu. Lalu saya
    membaca ada kursus tertulis yang diselenggarakan oleh Belanda dan Amerika tentang macam-macam topik, salah satunya komputer. Saya menulis surat pada sekolah
    itu dan mereka memberikan bacaan dalam bentuk braile. Saya juga memberikan jawaban soal-soal tes dengan mesin tik biasa dan dikirimkan lewat pos.

    Selanjutnya?
    Saya mengambil kursus berjudulnya Introduction to My Computer pada awal tahun 1990-an. Kursus ini menawarkan lebih dari 100 macam. Saya ambil beberapa
    termasuk komputer, word processing. Pengenalan saya terhadap komputer baru sampai pada pengetahuan. Karena saya hanya membaca, belum pernah memegang sama
    sekali. Pertama kali saya meraba komputer itu ketika saya mengikuti seminar di Kuala Lumpur tahun 1994, yaitu saat seminar tentang teknologi komputer bagi
    tuna netra se-ASEAN. Saya memiliki komputer tahun 1998 ketika istri saya memiliki uang banyak. Jadi, istri saya menulis buku dibeli pemerintah untuk program
    inpres dan kami sepakat untuk membeli komputer dari hasil tersebut.

    Anda sering ke luar negeri sendirian ya?
    Saya ke luar negeri karena dikirim oleh Pertuni atau UPI. Hanya satu kali yang diundang secara pribadi dan disediakan ongkos untuk pendamping. Tapi, pada
    umumnya saya ke luar negeri dibiayai oleh dinas karena keterbatasan dana. Menurut saya, bepergian sendiri dengan naik pesawat itu jauh lebih mudah bila
    dibandingkan dengan bis.

    Kok bisa?
    Karena di pesawat ada perhatian khusus pada penyandang cacat. Ini saya bicara soal aturan penerbangan internasional. Misalnya, pada saat ke Kanada. Saya
    datang ke bandara, petugas Garuda Indonesia langsung mendatangi saya, membawa ke ruang tunggu, ke pesawat, dan disambut pramugari di pesawat. Ketika sampai
    ke tempat tujuan, saya dibawa oleh pramugari turun dan ada yang menyambut lagi. Jadi ada komunikasi. Bahkan, mereka menawarkan kursi roda. Saya bilang
    saya hanya tidak bisa melihat, tapi bisa jalan. Kemudian, saat ada peragaan penggunaan pelampung dan keselamatan, pramugari memeragakan secara individual
    dengan mendatangi saya.

    Menikah dengan gadis pujaannya, Wacih Kurnaesih, S Pd pada 1980, wajah Didi tampak berbinar mengenang saat pernikahan mereka. ''Saya membeli rumah tiga
    bulan sebelum menikah dengan uang tabungan yang saya miliki ditambah dengan uang pinjaman. Jadi, kami menikah di rumah sendiri,'' ujarnya. Wacih adalah
    adik kelasnya sekaligus tetangga kamar di asrama Wyata Guna Bandung --tempat Didi tinggal selama menempuh pendidikan S1. Buah hati pertama lahir pada 1981
    dengan nama Tommi Rinaldi. Kini, Tommi duduk di bangku akhir kuliahnya di Jurusan Geologi Unpad. Sedangkan adiknya, Sendy Nugraha, yang lahir pada 1983
    saat ini menjadi mahasiswa semester 8 Jurusan Akuntansi di Unpas Bandung. Mendidik anak-anaknya yang lahir normal, Didi dan Wacih berlaku seperti umumnya
    para orang tua lain. ''Saya bahkan senang menyuapi anak saya, mengganti popok mereka,'' katanya tersenyum. Kedua anaknya mengenal ketunanetraan orang tua
    mereka secara alami karena setiap hari selalu berinteraksi.

    Mengenai motivasi Anda sehingga bisa mencapai posisi seperti sekarang, menjadi lektor dan akan segera kuliah S3, bagaimana awalnya?
    Ketunanetraan itu menjadi bagian dari hidup saya. Ketika saya menjalani kehidupan ini, ketunanetraan itu tidak menjadi bagian dari pemikiran saya. Yang
    menjadi pemikiran saya adalah bagaimana bisa sukses dalam hal tertentu. Misalnya, bagaimana saya bisa menyelesaikan S2, bagaimana saya ingin jadi doktor
    dan seterusnya. Jadi, tidak pernah terlintas, ''coba saya melihat''. Artinya, motivasi saya adalah motivasi untuk bisa lebih maju lebih jauh di dalam kehidupan
    saya. Sejak kecil, saya ingin menjadi guru dan cita-cita sudah tercapai.

    Obsesi saat ini apa?
    Secara pribadi, saya ingin menyelesaikan studi saya yang paling akhir yaitu mendapatkan gelar doktor itu, dalam karier saya ingin supaya jadi profesor.
    Tapi saya pikir, itu keinginan yang dimiliki oleh semua dosen. Ya, dengan keluarga, saya ingin anak-anak saya berhasil mempunyai pekerjaan yang mapan.
    Dalam organisasi, sesungguhnya organisasi tidak menjadi bagian dari cita-cita saya karena saya tidak pernah punya keinginan untuk menjadi ketua umum Pertuni.
    Karena itu kan pekerjaan volunteer, sosial dan jadi ketua umum ini karena memenuhi keinginan banyak teman. Artinya, ketika masa jabatan saya berakhir,
    saya lebih senang kalau tidak menjabat lagi agar memiliki banyak waktu luang. Sebenarnya obsesi saya menulis. Saya ingin mempunyai banyak waktu untuk menulis
    buku.

    Buku yang ingin ditulis?
    Sekarang saya punya banyak draft. Karena banyak, maka semuanya tidak selesai karena tidak punya waktu.

    Salah satunya apa?
    Karena saya suka komputer dan saya mengajar komputer, saya sekarang sedang membuat buku pelatihan komputer untuk tuna netra. Selain itu, karena saya merasa
    bahwa banyak orang tidak memahami ketunanetraan secara tepat dan buku-buku tentang ketunanetraan yang ada di Indonesia tidak saya sukai, saya sekarang
    mencoba menulis buku tentang ketunanetraan. Agar masyarakat punya persepsi yang tepat tentang ketunanetraan. Tapi, ini masih berupa draft awal.

    Label:

    0 Komentar:

    Posting Komentar

    Berlangganan Posting Komentar [Atom]

    << Beranda