• HOME




  • Buku Tamu -- Guestbook

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Daftar Isi

  • Didi Tarsidi, "Sekarang Jauh Lebih Baik"
  • Wacih Kurnaesih Menulis dengan Rasa
  • Pasangan Suami Istri Buta - Jatuh Cinta di Pandangan Pertama
  • Didi Tarsidi: Harus Menunggu ”Orang Normal” Terurus Dulu?
  • Blind is only a Character
  • Didi Tarsidi: Menjadi Tuna Netra Bukan Halangan
  • Wacih, a world-class braille writer
  • Wacih Kurnaesih Tarsidi: Dalam Kegelapan Rasakan Indahnya Hidup
  • DIDI TARSIDI, SEMANGAT JUANG DAN KEARIFAN TUNANETRA
  • Wacih Kurnaesih Tarsidi: Meraih Sukses dengan Braille




  • Jumat, 14 Maret 2008

    Didi Tarsidi: Harus Menunggu ”Orang Normal” Terurus Dulu?

    Oleh agus rakasiwi, Pikiran Rakyat, 21 September 2006

    HARI Minggu di tahun 1982, adalah momen lucu sekaligus membuatnya miris bagi Didi Tarsidi (55). Waktu itu, ia sedang menunggu bus kota yang akan membawanya
    kembali ke rumah di kawasan Mohammad Toha. Selagi menunggu, tiba-tiba seorang kernet angkutan umum memasukkan beberapa receh ke saku bajunya, “Pa punten,
    ieu kanggo meser rokok (maaf pak, ini buat beli rokok),” kata kernet jurusan Cicaheum itu.

    Minggu depannya, di tempat yang sama, lagi-lagi kernet yang sama melakukannya lagi. Kejadian kedua itu membuat emosinya terpancing. Didi langsung membuang
    uang pemberian kernet itu ke jalan. “Saya mengira ia orang yang sama. Kali ini ia tidak lagi basa-basi,” kata Didi. “Saya benar-benar kesal saat itu. Saya
    sangat emosi.”

    Sebelumnya pula, saat Didi sedang menelusuri jalan rusak di Bukit Duri, Ciumbuleuit, ia sempat diteriaki orang gila oleh sekelompok anak kecil. Pasalnya,
    Didi yang berjalan sendirian dengan memakai tongkat dan kaca mata hitam, jalan terantuk-antuk untuk menghindari jalan yang rusak.

    “Persepsi anak-anak tentang orang gila saat itu, mungkin adalah orang yang memakai kacamata hitam, membawa tas besar, dan berjalan terantuk-antuk seperti
    orang linglung,” ujarnya.

    Jika saja kernet dan anak-anak itu tahu kalau Didi adalah seorang dosen sekaligus mahasiswa S3, tentu saja situasinya akan berbeda.

    Didi mengatakan, peristiwa itu terjadi karena dalam benak masyarakat telah terbentuk persepsi bahwa tunanetra adalah kaum yang harus dikasihani. Tunanetra
    dianggap “berbeda” dari orang-orang di sekitarnya. “Kenapa harus disebut berbeda. Bukankah kita sama hanya saja ada perbedaan fisik saja,” kata bapak dua
    anak ini tegar.

    **

    PEMERINTAH Indonesia sudah sejak lama menetapkan peraturan perundang-undangan menyangkut keberadaan penyandang cacat. Dalam UU tersebut ditegaskan bahwa
    para penyandang cacat, seperti tunanetra, haruslah diperlakukan sama dengan mereka yang normal. Dalam setiap lini kehidupan, penyandang cacat tetap harus
    mendapat pendidikan, pekerjaan, dan penghidupan yang layak bagi mereka.

    Namun, pada pelaksanaan riil di lapangan, keberadaan mereka masih saja dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Misalnya, dalam hal pekerjaan. Undang-undang
    mencantumkan klausul bahwa penyandang cacat berhak memperoleh pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan derajat kecacatannya. Klausul itu menyebabkan pemberi
    pekerjaan bebas memberi penilaian terhadap kondisi fisik pelamar tanpa mempertimbangkan potensi keterampilan yang dimilikinya.

    “Bagaimana bisa mereka memberi penilaian terhadap diri tunanetra, sementara tidak pernah diminta untuk menunjukkan bakat dan keterampilan yang kami miliki,”
    ujar Didi.

    Perlakuan seperti itu, berbuah banyaknya tunanetra yang akhirnya memilih hidup di jalan sebagai pengemis. Lambat-laun persepsi di masyarakat pun berkembang
    bahwa para tunanetra adalah kelompok yang harus dikasihani agar hidupnya tetap bertahan.

    Didi meyakini bahwa persepsi tersebut bisa dipatahkan dengan cara memberikan asupan pendidikan yang memadai bagi kaum tunanetra.

    “Orang tunanetra sebenarnya bisa bekerja menjadi apapun jika diberikan technology assist yang tepat,” kata mahasiswa S3 UPI bidang kajian konseling ini.

    Dalam dunia pendidikan, asupan teknologi yang bermanfaat bagi tunanetra sudah lama berkembang. Ada software computer bicara yang disebut “George”. Alat
    ini setidaknya dapat membantu tunanetra untuk mengakses bahan bahan bacaan yang ada di internet atau yang tersimpan di daftar arsip komputer.

    Namun, Indonesia termasuk pihak yang telat mengadopsi teknologi itu. “Pemerintah selalu bilang, boro-boro urus orang cacat, kalau orang normal saja belum
    terurus semua. Lalu, apakah kami harus menunggu orang normal dulu terurus. Sepertinya itu, tidak mungkin,” kata Didi

    Berdasarkan pendapat itulah, Didi lalu memelopori pembukaan Pusat Layanan Tunanetra di UPI. Lembaga itu adalah yang pertama di Indonesia. Kenapa di UPI?
    Karena universitas itu adalah satu-satunya kampus negeri di Bandung, Jawa Barat, yang sudah menerima mahasiswa tunanetra sejak 1960-an. Saat ini terdapat
    45 mahasiswa tunanetra yang menempuh jalur sarjana.

    **

    PADA 14 September lalu pusat layanan ini resmi digunakan oleh para mahasiswa tunanetra di UPI. Di tempat ini mereka akan mendapatkan aneka ragam fasilitas,
    seperti internet sampai meminta bukunya disalin ke huruf braile atau dipindahkan ke media elektronik seperti kaset. Dan, bagi para mahasiswa tunanetra
    yang baru menginjakkan kakinya di UPI bisa meminta untuk diantar berkeliling kampus.

    Kampus, baru pada Senin (18/9) menyambangi pusat layanan tersebut. Saat bertemu dengan Didi Tarsidi di dalam laboratorium Pendidikan Luar Biasa Fakutas
    Ilmu Pendidikan UPI, pintu masuk ke ruangan pusat layanan masih terkunci rapat.

    “Waduh, kok masih terkunci. Ya... seharusnya sudah buka. Jam kerja tempat ini kan sejak pukul delapan sampai jam empat sore,” ujar Didi, yang melihat jam
    sudah hampir pukul sepuluh pagi.

    Meskipun begitu, Didi dan Kampus masih bicara beberapa hal mengenai tujuan pendirian pusat layanan mahasiswa tunanetra ini. Berikut petikan wawancaranya

    Betulkah pemerintah kita belum pernah mendirikan pusat layanan seperti ini?

    Ya. Pemerintah kita masih banyak bicara di atas kertas dan belum mengimplementasikan apapun amanat UU tentang Penyandang Cacat.

    Dengan siapa Anda bekerja sama untuk mendirikan tempat ini?

    Tempat ini berdiri atas kerja sama lembaga nirlaba ICEVI dan Nippon Foundation. ICEVI adalah lembaga yang mengurusi masalah penyandang cacat tingkat Asia
    Pasifik. Karena visinya sama dengan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), di mana saya duduk sebagai wakil ketuanya. Karena kesamaan visi itu maka dijalinlah
    kerja sama. Sementara Nippon Foundation adalah lembaga donor yang sudah lama bekerja sama dengan UPI.

    Awalnya, ICEVI tertarik dengan pemaparan saya tentang kondisi mahasiswa tunanetra di Indonesia. Waktu itu, kebetulan saya diundang sebagai pembicara dalam
    konferensi internasional tahun 2004 tentang pendidikan tinggi untuk mahasiswa cacat.

    Apakah yang Anda paparkan kepada mereka?

    Saya memaparkan bahwa mahasiswa tunanetra di Indonesia haruslah bekerja keras untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Di Indonesia tidak ada pusat layanan
    yang dapat membantu kerja mahasiswa. Kasihan bukan mahasiswa yang setiap waktu luangnya dihabiskan untuk mengejar ketertinggalan. Karena memang tidak ada
    buku dalam huruf braile untuk mahasiswa, tidak ada akses computer bicara dan lain-lain. Nah, dengan adanya layanan ini, mereka yang berkuliah tidak lagi
    kesulitan seperti pada zaman saya berkuliah dulu. Duh, repotnya. Sebenarnya saya yakin, dengan orang berpendidikan tinggi, maka citra negatif masyarakat
    bisa dikurangi.

    Apakah kalimat Anda terakhir benar adanya. Kenapa Anda yakin pendidikan tinggi bisa mengubah perspektif masyarakat?

    Ya, tentu saja. Sekarang yang terlihat kan adalah mereka yang sering berada di jalan. Sementara yang bersekolah dan mencapai karir yang baik karena sekolahnya
    tidak pernah terekspos. Misalnya, di tingkat nasional orang mengenal Bambang Basuki. Dia adalah sarjana tunanetra.

    Kenapa Anda begitu optimis. Sementara kita tahu pemerintah masih diskriminatif terhadap kaum tunanetra dalam bidang pekerjaan?

    Gini, Mas, kita harus optimis. Mustahil perubahan terjadi kalau kita pesimis. Bukankan kita hidup pada dunia yang sama, sehingga harusnya kita dapat kesempatan
    yang sama pula.

    Dari mana pembiayaan tempat ini?

    UPI menyediakan ruangan dan akses internet. Sementara untuk peralatan semuanya disediakan oleh ICEVI dan Nippon Foundation. Tersedia dana US$ 70 ribu untuk
    macam-macam kebutuhan.***

    Label:

    0 Komentar:

    Posting Komentar

    Berlangganan Posting Komentar [Atom]

    << Beranda