• HOME




  • Buku Tamu -- Guestbook

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Daftar Isi

  • Didi Tarsidi, "Sekarang Jauh Lebih Baik"
  • Wacih Kurnaesih Menulis dengan Rasa
  • Pasangan Suami Istri Buta - Jatuh Cinta di Pandangan Pertama
  • Didi Tarsidi: Harus Menunggu ”Orang Normal” Terurus Dulu?
  • Blind is only a Character
  • Didi Tarsidi: Menjadi Tuna Netra Bukan Halangan
  • Wacih, a world-class braille writer
  • Wacih Kurnaesih Tarsidi: Dalam Kegelapan Rasakan Indahnya Hidup
  • DIDI TARSIDI, SEMANGAT JUANG DAN KEARIFAN TUNANETRA
  • Wacih Kurnaesih Tarsidi: Meraih Sukses dengan Braille




  • Jumat, 14 Maret 2008

    Wacih Kurnaesih Menulis dengan Rasa

    Oleh Yenti Aprianti, Kompas, 14 November 2007

    Ia tak pernah tahu bagaimana warna hijau pada lumut. Namun, jika diminta mendeskripsikan lumut, ia bisa menceritakan kelembutan lumut yang menempel pada
    batu. Ia tak melihat bentuk air, tetapi ia berkisah tentang rasa sejuk yang merayap di atas kepala dengan detail.

    Sejak kecil ia dikaruniai penglihatan minim sehingga hanya mampu menangkap seberkas bayangan, tetapi perasaan dia mampu melihat lebih dalam tentang sesuatu
    di sekitarnya. Inilah yang menjadi modal Wacih Kurnaesih (53) sebagai penulis.

    Sejak muda Wacih menulis apa saja yang ia alami dan rasakan. Pada tahun 2003 ia menjadi juara dalam lomba esai penulisan tentang manfaat huruf braille
    Bagi tunanetra se-Asia Pasifik.

    Sebagai tunanetra yang gemar menulis dan membaca, Wacih sangat akrab dengan aksara braille. Apalagi sebagai guru Bahasa Indonesia, ia nyaris menyentuh
    Braille setiap hari dan mengajarkannya kepada murid-murid di Sekolah Luar Biasa A Negeri Bandung, Jalan Padjadjaran, Kota Bandung, Jawa Barat, sejak 27 tahun lalu.

    Pada esai yang ditulisnya, Wacih bercerita dengan bersemangat tentang bagaimana braille membantunya memperluas wawasan tentang dunia, juga membantunya
    Menyediakan makanan buat keluarga.

    "Di awal pernikahan saya menempelkan tulisan beraksara braille pada semua wadah bumbu di dapur agar tak salah memasukkan bahan yang dibutuhkan," kata Wacih
    yang setelah bertahun-tahun berkeluarga hafal wadah-wadah bumbu di dapur.

    Braille menjadi penanda yang memudahkan aktivitas para tunanetra. "Braille adalah aksara yang lahir dari sebuah budaya yang sejarahnya sangat panjang.
    Sepanjang kisah tentang manfaatnya. Itu sebabnya braille harus dilestarikan," ujarnya.

    Berpisah

    Perkenalan dengan braille dimulai saat dia berusia tujuh tahun. Wacih dilahirkan di Desa Dayeuh Luhur, kawasan wisata ziarah di Kabupaten Sumedang, Jawa
    Barat. Ia anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Sejak lahir Wacih mengalami low vision atau keterbatasan penglihatan. Namun, seperti pada tunanetra lain,
    ia dikaruniai ketajaman rasa.

    Dengan kelebihan itu, ia tak memiliki kendala mengenali keluarga dan lingkungan. Ia tetap bisa bermain di luar rumah dengan teman sebaya.

    "Kalau saya main dekat kolam atau sungai, Ibu selalu melarang," kata anak petani tersebut.

    Wacih diperlakukan sama dengan saudara-saudara yang dapat melihat. Sejak kecil ia sudah tertarik membaca. Sebagian besar saudaranya lelaki dan suka membaca
    buku cerita persilatan, Wacih pun turut membaca.

    "Ketika usia saya tujuh tahun, orangtua mendengar cerita tentang sekolah khusus bagi tunanetra di Bina Netra Wyata Guna, Bandung." Jadilah sejak saat itu
    Wacih tinggal terpisah dari keluarga dan tinggal di asrama.

    Tinggal jauh dari keluarga tak masalah baginya sebab setelah bisa membaca dan menulis, ia jadi makin suka membaca buku cerita beraksara braille. "Waktu
    saya kecil, buku cerita braille sangat banyak dan beragam pilihannya," kenangnya sambil menyebutkan salah satu buku favoritnya, Rumah dan Taman.

    Di kelas Wacih pun senang menulis cerita. Guru dan teman-teman senang membaca tulisan dia. Ia melanjutkan belajar di sekolah pendidikan guru di Bandung.
    Di sekolah umum tersebut ia sering diminta mengisi majalah dinding sekolah dan berbagai majalah lokal.

    "Guru saya, Bu Murtilah, menyarankan agar saya kuliah ke jurusan Bahasa Indonesia," cerita Wacih. Saran itu diikutinya. Tahun 1978 ia melanjutkan pendidikan
    ke jenjang sarjana muda di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung yang kini berganti nama menjadi Universitas Pendidikan Indonesia.

    Di perguruan tinggi pun banyak teman Wacih yang menyukai tulisannya. Dosennya memuji kemampuan dia mengungkapkan kesejukan embun di kepala, yang katanya,
    tak mungkin dibuat penulis yang dapat melihat.

    Bertemu di asrama

    Sepanjang hidup, ia menjuarai berbagai perlombaan menulis, antara lain penulisan lokal sastra untuk anak-anak yang diselenggarakan Departemen Pendidikan
    dan Kebudayaan tahun 1983 dan tahun 1986. Karena selalu juara, Wacih sampai tak diizinkan lagi ikut lomba menulis.

    Kini ia lebih banyak menjadi juri lomba penulisan. Beberapa buku tentang cerita anak karya dia telah diterbitkan, antara lain Pahlawan Lima K dan Menuju
    Kemenangan.

    Suaminya, Didi Tarsidi, yang juga tunanetra, mendukung kegemarannya menulis. "Bapak membantu saya mengetik tulisan saya dari huruf braille ke komputer,"
    kata Wacih tentang Didi.

    Wacih bertemu Didi, lelaki asal Sumedang itu, di asrama Bina Netra Wyata Guna. Didi adalah kakak kelasnya. Didi aktif sebagai Ketua Persatuan Tunanetra
    Indonesia (Pertuni). Mereka menikah pada tahun 1980 dan dikaruniai dua anak, Tommy Rinaldi (26) dan Sendy Nugraha (24). Kedua anaknya itu dapat melihat
    dan telah menjadi sarjana. "Mereka yang sering membacakan artikel di majalah atau koran untuk saya," ucap Wacih.

    Prihatin

    Sebagai guru, ia berusaha membagi pengalamannya kepada murid-murid. Ia berharap pengalaman dia bisa menjadi motivasi murid untuk maju. "Setidaknya saya
    ingin mereka bisa seperti saya. Sebab, tunanetra pun bisa melakukan beragam pekerjaan, asalkan diberi kepercayaan mencobanya," katanya meyakinkan.

    Akan tetapi, Wacih mengaku prihatin sebab kemampuan membaca dan menulis huruf braille di kalangan murid-muridnya makin hari semakin rendah. Penyebabnya,
    bacaan beraksara braille sangat jarang dijumpai saat ini.

    "Waktu saya kecil, buku braille banyak jumlah dan ragamnya. Buku anak-anak hingga dewasa tersedia. Tapi sekarang, buku braille makin sedikit diproduksi.
    Kalaupun ada, lebih banyak buku pelajaran sehingga anak tidak dapat memuaskan keinginan membaca buku yang mereka sukai," tutur Wacih.

    Ia berharap pemerintah memerhatikan kebutuhan membaca dan menulis para tunanetra. "Sebab, kemampuan baca tulis itu tergantung banyaknya bahan bacaan yang
    ada," ujarnya.

    Selain itu, ketersediaan kertas untuk menulis pun sering kali sangat terbatas di sekolah-sekolah luar biasa untuk tunanetra. Padahal, kertas bekas dari
    kantor-kantor pun bisa dipakai oleh para tunanetra untuk menulis.

    "Daripada dibuang lebih baik kertas bekas itu diberikan kepada para tunanetra," ucap Wacih yang mengidolakan penulis novel Marga T dan Mira W.

    Wacih berharap semakin banyak anggota masyarakat yang bisa melihat bersedia menolong para tunanetra dengan tak berlebihan. Sebaliknya, para tunanetra pun
    bisa melakukan hal yang sama.

    "Sebab, pada dasarnya semua manusia diberikan kemampuan untuk saling membantu meski dalam keterbatasan," kata Wacih yang memilih mewarnai hidupnya lewat
    tulisan.

    Biodata
    Nama: Wacih Kurnaesih
    Lahir: Sumedang, 30 April 1954
    Orangtua: Haris dan Eneh Hasanah
    Suami: Didi Tarsidi (56)
    Anak: Tommy Rinaldi (sarjana teknik) dan Sendy Nugraha (sarjana ekonomi)
    Pekerjaan: Guru Bahasa Indonesia di SLB A Negeri Bandung
    Pendidikan:
    - Sarjana Bahasa Indonesia dari Universitas Terbuka, 1993
    - Sarjana Muda Bahasa Indonesia dari IKIP Bandung, 1978

    Prestasi antara lain:
    - Juara I penulisan sastra cerita lokal untuk anak, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1983, "Pahlawan Lima K"
    - Juara I penulisan sastra Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1986, "Perjalanan Menuju Kemenangan"
    - Juara se-Asia Pasifik untuk penulisan esai "Manfaat Braille bagi Tunanetra" , Onkyo, Jepang, 2003

    Label:

    0 Komentar:

    Posting Komentar

    Berlangganan Posting Komentar [Atom]

    << Beranda