• HOME




  • Buku Tamu -- Guestbook

    Silakan isi Buku Tamu Saya. Terima kasih banyak.
  • Lihat Buku Tamu


  • Daftar Isi

  • Didi Tarsidi, "Sekarang Jauh Lebih Baik"
  • Wacih Kurnaesih Menulis dengan Rasa
  • Pasangan Suami Istri Buta - Jatuh Cinta di Pandangan Pertama
  • Didi Tarsidi: Harus Menunggu ”Orang Normal” Terurus Dulu?
  • Blind is only a Character
  • Didi Tarsidi: Menjadi Tuna Netra Bukan Halangan
  • Wacih, a world-class braille writer
  • Wacih Kurnaesih Tarsidi: Dalam Kegelapan Rasakan Indahnya Hidup
  • DIDI TARSIDI, SEMANGAT JUANG DAN KEARIFAN TUNANETRA
  • Wacih Kurnaesih Tarsidi: Meraih Sukses dengan Braille




  • Jumat, 14 Maret 2008

    Pasangan Suami Istri Buta - Jatuh Cinta di Pendengaran Pertama

    Oleh Witri Suarti, Tabloid Wanita Indonesia, 4 April 2007

    Meski buta, tak menghalangi rasa cinta Wacih Kurnaesih dan Didi Tarsidi, bahkan mereka pun berkar-ya bersama.

    Di ruangan ber-ac di studio METROTV, Wacih Kurnaesih dan Didi Tarsidi nampak serasi dengan busana warna senada.

    Malam itu mereka jadi tamu acara ‘KickAndy’ yang ditayangkan tiap kamis jam 22.30 wib . "Bukankah orang bilang penderitaan dapat membuat orang mengarang?
    Begitu juga aku," kata Wacih Kurnaesih, Sang Juara Lomba The World Blind Union (WBU) Asia Pasifik, dengan hasil karya esainya berjudul: Makna Huruf
    Braile Bagi Tunanetra.

    Sama seperti orang lain, Wacih dan Didi juga memiliki handphone. Namun tentu saja handphone ini khusus bagi tunanetra, yakni dilengkapi software sms yang
    bisa berbunyi untuk membaca sms yang dikirim. Malam itu, pasangan ini jadi pusat perhatian karena hpnya ini.

    Wacih memiliki segudang joke yang menunjukkan sense of humor yang tinggi. Ngobrol dengannya seperti bicara dengan teman lama.

    "Jika di sekolah aku pendiam dan perasa. Tapi kalau di asrama, aduh saya paling heboh menurut teman-teman," katanya. Sebelum taping KickAndy, Wacih
    mengisahkan perjuangan hidupnya bersama Didi, suami tercina.

    Asrama Membuat Mandiri

    Sejak lahir aku tak pernah melihat. Seperti tuna netra lainnya, kami juga ingin melihat indahnya dunia. Namun, kami selalu mensyukuri apa
    yang kami nikmati. Kami bisa mendengar, meraba, mencium. Kami cuma tak bisa melihat.

    Walau tak bisa melihat, sejak kecil aku orang tuaku mengajarkan aku untuk mandiri. Aku mandi, cuci, memakai sepatu dan lain-lain sendiri. Orang
    tuaku memperlakukan aku sama dengan saudaraku yang lainnya. Sejak lahir, ibuku, Enech Hasanah (almarhumah) , selalu membacakan dongeng untukku.

    Mendengarkan dongeng ibuku, satu-satunya hiburanku, masa kecil. Ketidak mampuanku melihat, membuat aku tak bisa menikmati, hal-hal yang bisa
    dinikmati orang lain. Seperti nonton televisi, rekreasi dan lain-lain.

    Ketika, aku berusia 6 tahun, ayahku Haris (almarhum) mengirimku ke Asrama Tunanetra Wiyataguna. Tak kudengar ayah dan ibu menangis melepasku tinggal
    di asrama. Padahal hatiku sedih, gundah dan gelisah. Setelah dewasa, aku baru sadar, kalau apa yang dilakukan orang tuaku, sangat bermanfaat bagiku.
    Di asrama, aku jadi lebih mandiri. Di sini aku belajar masak, menyetrika dan lain-lain.

    Di rumah aku telah diajarkan mandiri, namun aku masih bisa dibantu orang tuaku. Di asrama berbeda, benar-benar aku mandiri. Tak ada lagi tangan-tangan
    yang membantuku. Kalau ada kesulitan, misalnya mencarikan barang, aku harus mencari sendiri. Tempaan hidup di asrama membuat aku kuat.

    Namun yang membuat aku bersedih, aku tak lagi bisa mendengarkan ibuku mendongeng. Tiap-tiap liburan, aku bahagia sekali, tiap malam, tiap akan tidur,
    mendengarkan ibu mendongeng.

    Kelas V SD, guncangan terhebat menghampiriku. Ibu meninggal. Aku tak lagi bisa mendengarkan ibu mendongeng.

    Kepedihan ditinggal ibu, aku tuangkan di buku diary. Berminggu-minggu, isinya hanya tentang kesedihan. Hasilnya, tekanan kepedihan itu berkurang. Lambat
    laun aku bisa melepas kepergian ibu. Sejak itu pula aku terbiasa menautkan kata demi jadi kalimat-kalimat yang indah. Aku suka sekali mengerjakan tugas-tugas
    mengarang di SLB (Sekolah Luar Biasa) Padjajaran, Bandung. Aku selalu mendapatkan nilai terbaik di tugas mengarang. Guru bahasa Indonesia, bangga dan
    sayang padaku.

    Si Raja Duit
    Sejak kecil aku dijuluki: Wacih "Si Raja Duit" karena menciptakan uang-uangan dari kertas dengan tulisan braile sebagai penanda angka nominalnya,
    ha…ha…., karena aku suka menghitung uang, maka itu, begitu aku dewasa, aku terpilih jadi Bendahara Koperasi Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia).

    Kebiasaan mendengarkan ibu mendongeng inilah yang membuat aku suka sekali menulis diary hingga sekarang. Kebiasaan menulis diary ini pula yang mengantarku
    suka menulis, dan mengikuti berbagai lomba menulis, dan mendapatkan penghargaan internasional.

    Ketika SD dan SMP aku sekolah di SLB. Semua teman-temanku tuna netra. Kami sama-sama menggunakan huruf braille.

    Namun ketika aku melanjutkan pendidikan guru di sekolah umum di SPG 2 Citarum. Di sini pertama kalinya aku sekolah dengan orang normal. Aku mulai
    kesulitan. Buku-buku pelajaran semuanya tak dalam bahasa braille. Tapi, aku tak menyerah. Aku rekam suara guruku saat mengajar di kelas. Teman-temanku
    baik semua, mereka mau membacakan buku-buku pelacaran itu, dan aku merekamnya. Saat pulang sekolah aku terus menerus mendengarkan kaset-kaset itu.

    Walau tuna netra, aku punya semangat jadi yang terbaik di kelas. Aku selalu jadi juara kelas, paling tidak juara ke II. Lulus, aku mengajar pelajaran
    Bahasa Indonesia di SLB A Padjajaran Bandung.

    Sambil kerja, aku meneruskan kuliah di IKIP (kini UPI) Bandung untuk mendapatkan gelar sarjana muda (1978). Aku dites langsung oleh Ketua Jurusan
    Bahasa Indonesia IKIP, dengan 100 soal secara lisan. Di IKIP teman buleku, Helen Bloomfield, baik sekali denganku. Mungkin karena aku tunanetra. Tampa
    aku minta tolong, dia bersedia membaca buku-buku pelajaranku.

    Aku merasa berhutang budi pada Helen. Dia yang mengajarkan aku trik membaca buku pelajaran. Kata dia tak perlu baca seluruhnya, inti-intinya saja yang
    pasti keluar kalau ujian. Ia benar.

    Namun, karena ajaran Helen, aku hanya membaca 2 buku dari 12 buku wajib yang dianjurkan harus dibaca oleh dosennya. Karena tak ada bacaan berhuruf braile,
    tentu saja aku mengandalkan bantuan teman-teman untuk membacakan buku. Sebuah buku saja berhalaman ratusan. Jadi sudah cukup dibacakan 2 buku saja. Keterbatasannya
    tak menjadikan halangannya untuk menjadi mahasiswa berprestasi.

    Di kampus aku belajar bahasa Jawa, Kawi dan Sansekerta. Alhamdulillah aku bisa Bahasa Jawa dengan baik. Cuma yang jadi kendala saat itu bagaimana kelak
    saya menghadapi pelajaran bahasa Kawi dan Sansekerta? Kalau bahasa Arab ada bacaan braillenya, yang dua itu tidak. Untung aku ada akal, ketika kuliah
    aku dengarkan baik-baik kata demi kata, lalu aku tirukan saja sebisa-bisanya. Alhamdullilah aku lulus.

    Gelar Sarjana Pendidikan aku peroleh di Universitas Terbuka (UT). Ketika kuliah di UT, karena tidak banyak tatap muka, aku sering ketiduran kalau
    mendengarkan materi pelajaran dari kaset ha..ha..ha.

    Bertemu Kekasih

    Saat aku masih duduk di bangku SPG, ada lelaki yang menarik perhatianku. Namanya Didi Tarsidi, dia sama-sama tunanetra, dan kuliah di IKIP. Waktu itu,
    dia baru masuk asrama kami. Saat mengenalkan diri pada anak-anak asrama itulah aku jatuh cinta pada suaranya. Ternyata, begitu juga dengan Didi. Jika
    manusia normal, mungkin kami jatuh cinta pada pandangan pertama.

    Setelah Didi bekerja, jadi dosen di IKIP. Kemudian ia membeli rumah di Jalan H.Kurdi Baru II No. 17 Bandung, dari tabungan dan meminjam uang.
    Tak berapa lama kemudian kami menikah tahun 1980. Ah bahagianya aku, apalagi kemudian lahir Tommi Rinaldi tahun 1981. Ia lahir normal. Bagi kami
    ini semua anugerah yang tak terkira. Terima kasih Tuhan, kami berdua tunanetra, namun Kau karuniai kami anak yang normal.

    Aku sendiri yang mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, dari masak, mencuci, menyetrika, dan mengurus Tommi. Didi juga membantuku mengurus rumah.
    Dia sendiri yang membetulkan genteng bocor, langit-langit yang bermasalah, atau bagian rumah yang rusak lainnya. Didi juga senang menyuapi Tommi, mengganti
    popoknya. Suamiku mengenal dengan baik setiap sudut rumah

    Inilah keluarga kami, kami berusaha mengerjakan sendiri. Mungkin bagi orang normal tak terbayangkan, tunanetra seperti kami bisa mengerjakan
    Seluruh pekerjaan ini. Yang terpenting bagi kami, adalah kemauan. Seperti memasak. Asalkan kita mau memasak dan tak takut api. Memasak itu gampang kok. Untuk
    merasakan tahu goreng sudah saatnya di balik, selain dari harumnya tahu yang sudah matang, aku bisa merasakan kulit tahu yang mengeras di ujung sendok
    pembalik.

    Lihat saja rumah kami ini, terlihat rapi kan? Ha …ha… padahal aku tak bisa lihat loh. Tapi aku bisa merasakan, kalau rumahku kotor, bau dan tak
    rapi, dari tangan dan penciumanku.

    Label: ,

    0 Komentar:

    Posting Komentar

    Berlangganan Posting Komentar [Atom]

    << Beranda